Baik buruknya dampak aset digital bagi lingkungan, sangat bergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Lahir pertama kali pada 2009, Bitcoin semakin dikenal luas. Banyak silang pendapat yang terus mengiringi pertumbuhannya selama lebih kurang 12 tahun terakhir.

 

Saat ini, jagat ekosistem aset digital semakin ramai dengan kehadiran koin dan token lainnya, di luar Bitcoin. Menurut data dari Investopedia, pada Januari 2021, terdapat lebih dari 4.000 aset digital yang beredar.

 

Sementara untuk di Indonesia, Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengakui terdapat 229 jenis aset digital yang legal di Indonesia. Keberadaan aset digital yang telah diakui legal sebagai komoditas pun, mendorong jenis aset ini makin dilirik sebagai salah satu instrumen investasi.

 

Ada berbagai dinamika yang sekarang menjadi bagian dari perkembangan aset baru, berbasis teknologi blockchain ini, di antaranya:

Tren Global dan Lokal

Perkembangan aset digital yang saat ini tumbuh di Tanah Air, tak lepas dari tren global yang saat ini juga tengah berlangsung di berbagai negara di dunia. Menurut data dari platform pembayaran crypto currency Triple A, pada 2021, sekitar 2,8 persen dari seluruh penduduk dunia, atau sekitar 200 juta orang telah memiliki aset digital.

 

Jumlah ini, terbagi-bagi di setiap wilayah, seperti 38 juta pengguna di Eropa, 59 juta di Asia, 32 juta di Afrika, 24 juta di Amerika Selatan, satu juta di Oseania, dan 28 juta di Amerika Utara.

 

Di Indonesia, CEO platform exchange crypto Luno , Jay Jayawijayanigtyas mengungkapkan, sebagai platform global, Luno telah memiliki delapan juta pengguna di seluruh dunia, dan 500 ribu pengguna di Tanah Air. “Pengguna terbesar platform Luno adalah Afrika Selatan dan Indonesia merupakan negara kelima pengguna Luno terbesar,” ujarnya.

 

Pertumbuhan yang lebih kurang sama juga terjadi di platform lokal untuk pembelian aset digital, Pintu. Menurut CEO Pintu, Jeth Soetoyo, sejak hadir pada April 2020, pertumbuhan pengguna di platform ini cukup siginfikan, “Saat ini, kami memiliki lebih kurang 500 ribu pengguna aktif,” ujar Jeth.

back

Sebagai Investasi?

Arnold Poernomo atau yang biasa disapa Chef Arnold merupakan salah satu investor yang menanamkan uangnya di aset kripto. Menurutnya, aset kripto memiliki sejumlah kelebihan dibanding instrumen investasi lainnya.

 

Pertama, teknologi blockchain yang ada di balik transaksi aset kripto adalah fitur unggulannya. Blockchain merupakan sistem penyimpanan data digital yang terhubung melalui kriptografi, dan memungkinkan data terhubung satu sama lain. “Blockchain is the future. Memang arah digitalisasi dan teknologi ke sana,” kata Arnold dalam TKO Exclusive Talk Show, pekan lalu.

 

Selain itu, Arnold juga menyoroti keberadaan komunitas investor aset kripto, baik secara global maupun dalam negeri yang memiliki keterikatan kuat. “Kripto memiliki komunitas yang kuat secara global, lebih dari saham,” ujar dia.

 

Kemudian, memilih investasi di aset kripto juga terbilang lebih terjangkau. Karena kita dapat membeli koin secara didicil, sesuai kemampuan dompet masing-masing.

Cek Profil Risiko

Sama seperti konsep memilih instrumen investasi lainnya, sebelum membeli aset digital, kita juga harus menentukan seperti apa profil risiko dan risk appetite kita masing-masing. Menurut CEO Pintu, Jeth Soetoyo, aset digital memang sejatinya tidak diperuntukkan bagi semua orang.

 

Hal ini, tak lepas dari volatilitasnya yang tinggi. “Ketika kita mungkin terbiasa dengan saham, di mana perubahan harganya mungkin dua atau tiga persen per hari, mungkin kripto akan akan terasa sangat ekstrem karena perubahan harga bisa belasan persen. Begitu juga sebaliknya, apabila kita terbiasa dengan aset kripto, berinvestasi di instrumen lainnya, akan terasa sangat lambat,” ujar dia.

 

Oleh karena itu, Jeth melanjutkan, memang sudah seharusnya kita melakukan penyesuaian dengan profil risiko dan kemampuan kita dalam menerima volatilitas harga. Sistem berinvestasi dengan konsep dollar cost averaging (DCA) mungkin bisa dijadikan pilihan.

DCA adalah konsep menabung rutin, apakah itu harian, pekanan, atau bulanan, secara sedikit demi sedikit. Tentunya bergantung pada kemampuan finansial masing-masing investor.

back

Pada pertengahan Mei lalu, CEO Tesla Elon Musk mengumumkan, Tesla telah menangguhkan pembelian kendaraan menggunakan Bitcoin. Langkah tersebut dilakukan karena kekhawatiran atas penggunaan bahan bakar fosil yang meningkat pesat untuk penambangan Bitcoin.

 

Penuruan harga Bitcoin yang signifikan saat itu pun seiring dengan percakapan terkait aspek penggunaan energi dalam proses penambangan aset digital dan dampaknya bagi lingkungan. Menurut Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia, Oham Dunggio, menyikapi isu pemanfaatan energi yang masih menjadi silang pendapat di jagat kripto ini, sangat bergantung dari sisi mana kita menyikapi data yang ada.

 

“Data yang dimiliki Cambridge University menunjukkan, penambangan aset kripto saat ini mengonsumsi sekitar 0,55 persen energi global,” ujarnya.

 

Jumlah ini, kata Oham, apabila kita lihat sebagai suatu sistem teknologi yang dimanfaatkan untuk mencuci uang atau mendanai terorisme, maka jumlah konsumsi energi sebesar ini adalah hal yang sia-sia. Namun disisi lain apabila kita memandang jumlah ini sebagai teknologi yang memfasilitasi verifikasi transaksi keuangan jutaan orang di seluruh dunia, maka jumlah ini menjadi terasa manfaatnya,

 

“Pada prinsipnya, seluruh kegiatan yang dilakukan manusia, pada umumnya pastilah mengnsumsi energi,” Oham melanjutkan. Selain itu, sistem halving yang dimiliki Bitcoin setiap empat tahun sekali, membuat keuntungan para penambang bitcoin saat ini semakin sedikit.

 

Untuk terus menjaga margin keuntungan, salah satu upaya yang banyak dilakukan para penambang adalah menekan biaya penggunaan listrik. “Saat ini, 73 persen konsumsi energi yang digunakan oleh penambang Bitcoin adalah energi terbarukan,” ungkap Oham.

Dampak Konsumsi Energi

back

Aset Kripto dan Elon Musk

Sejak awal 2021, nama Elon Musk kerap diasosiasikan dengan antusiasmenya terhadap aset kripto. Apabila awalnya ia sempat membuat harga bitcoin melonjak di Februari 2021, ketika mengumumkan pembelian bitcoin senilai 1,5 Miliar dolar Amerika Serikat (AS).

 

Kini, situasi berbalik 180 derajat. Ketika pertengahan Mei ia menangguhkan pembelian Tesla dengan bitcoin, kicauannya menjadi awal dari turunnya harga bitcoin hingga akhirnya pasar kripto sempat mengalami crash pada 21 Mei lalu.

 

Menurut CEO Pintu, Jeth Soetoyo, cuitan Musk memang hingga saat ini msih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap naik turunnya harga aset digital. Apabila di awal tahun, banyak yang berterima kasih atas dukungan Musk terhadap aset digital, kini ia justru banyak dimusuhi oleh para investor kripto.

 

Agar tak terlalu banyak menghabiskan energi dalam menyikapi bagaimana pasar merespon sikap Musk, Jeth menyarankan, apabila ingin berinvestasi di aset digital, miliki cakrawala jangka waktu yang panjang. Sehingga, volatilitas harga yang biasa terjadi dalam waktu singkat, tidak kemudian justru menjadi sumber stres baru.

 

Saat ini, kata Jeth, masih banyak peluang yang dimiliki oleh jagat kripto di masa depan. Hal ini terlihat dari beberapa sentimen pendukung, yaitu:

 

1. Pendanaan untuk pengembangan aset kripto kini telah banyak mengalir. Diperkirakan, dana-dana segar ini, akan mulai terealisasi pada kuartal ketiga 2021.

 

2. Masih rendahnya penetrasi global di sektor ini, sehingga memungkinkan upside atau pertumbuhan yang masih tinggi.

 

3. Bank sentral, seperti The Fed, masih terus saja menyetak uang baru sebagai upaya penanganan pandemi. Hal ini, tentu berujung pada potensi inflasi yang kian tinggi. “Selain itu, berbagai uang baru ini, juga tentu akan terus mencari tempat, akan digunakan untuk apa. Sebagian dari uang-uang baru tersebut, kemungkinna juga akan masuk ke industri kripto,” ujar Jeth.

top

Selayang Pandang

Aset Digital